Sebuah Cerita dari Teman Lama
Written by Imam Darto, 15 December 2010
Seorang teman lama, (kami berteman sejak SMA dan mungkin sudah ada 5 tahun lebih tidak bertemu) akhirnya datang ke rumah atas undangan “dadakan” saya. Selama ini sesekali kami bersapa lewat sms (sebelum jaman BB berjaya) sampai akhirnya kami bertukar pin dan lebih sering bersapa lewat BBM. Antisipasi saya cukup tinggi menanti kedatangan dia, karena terus terang saya sedang kangen bertukar pikiran-pikiran gak penting dan bernostalgia dengan teman lama selalu menjadi kegiatan favorit saya.
Dan datanglah seorang pria yang tampaknya lebih sukses dari pria yang dulu saya kenal. Dari biasa naik bis kemana-mana, sekarang dia sudah naik Mercy (walaupun Mercy 90’an sih, tapi tetep aja Mercy), perawakan tubuh yang lebih tambun dengan timbunan lemak menyembul di perut dan pipi, standar orang yang udah punya duit, makan lebih terjamin. Pertanyaan wajib antar sahabat yang sudah lama tidak bertemu pasti adalah “Kerjaan loe ngapain sekarang?” Pekerjaan saya hanya memakan waktu 5-10 menit untuk diceritakan, sementara pekerjaan dia ternyata jauh lebih “menarik” untuk saya dengar.
Teman saya ini bekerja di sebuah perusahan telekomunikasi, bagian yang berurusan dengan supplier/vendor. Anda tau kalau anda beli sebuah kartu perdana, disitu ada : kartunya itu sendiri, buku panduan, dan beberapa kertas2 promo? Tampaknya sepele di tangan anda, tapi bayangkan jika anda pemasok paket kartu perdana itu. Perusahaan telekomunikasi butuh berjuta-juta paket itu, dan anda pemasoknya. Bisa terbayang kan? Nah, teman saya ini yang kurang lebih berurusan dengan anda. Dan seketika meluncurlah cerita-cerita ajaib tentang pekerjaannya. Di posisinya yang krusial untuk membuat sebuah proyek berjalan mulus (baca : disetujui) hanya dengan tanda tangannya, wajar jika (tanpa meminta pun) dia mendapatkan bertubi-tubi gratifikasi. Istilah yang mulai kita kenal sejak KPK ng’hits.
Dari amplop – amplop kejutan (sekali lagi tanpa dia minta), sampai ke gaji “sampingan” belasan juta tiap bulan yang dia terima hanya karena sebuah tanda tangan. Di satu kesempatan bahkan ada calon supplier yang menyodorkan brosur mobil SUV merk Jepang (kisaran 320-350 juta) ke mejanya, dengan pesan “Tolong kami diikutkan tender lah pak, bapak yang memuluskan jalannya.. kalau tembus, silahkan pilih tipe apa warna apa. Besoknya udah ada di garasi bapak.” Sinting ya, saya pikir. Dengan pekerjaan saya, kalau mau beli mobil itu, paling cepat butuh waktu 1 tahun untuk menabung. Itupun baru DP-nya saja. Super sinting. Untungnya memang tawaran itu tidak diterimanya. “Gaji gue berapa mam sebulan, kalo tiba-tiba naik gituan apa orang-orang pada gak nanya?” katanya.
Tapi tentunya ini bukan suatu hal yang aneh. Gratifikasi dan kawan-kawannya sudah mengakar begitu kuat di kebudayaan kita. Dari sekedar ”meng-ongkos-i” pejabat kelurahan supaya KTP kita cepat jadi, sampai ke gratifikasi kelas kakap seperti Gayus. Yang lebih menarik justru di cerita teman saya selanjutnya. Ternyata uang sedemikian banyak yang dia dapat, habis begitu saja. Seharusnya dengan gratifikasi sebanyak itu, Mercy dia sudah S-Class Kompressor baru, bukan Mercy 90’an second yang udah jalan 100,000 KM lebih. Habis kemana uangnya? Ternyata ke pacarnya yang baru saja jadi mantan.
Mantannya ini, saya gak habis pikir, jelmaan dajjal atau apa sih sebenarnya. Bayangkan, suatu ketika teman saya pulang dari perjalanan dinas ke Cina dijemput oleh si mantan di airport. Ketika si mantan menagih janji oleh-oleh iPad dan teman saya tidak sempat membelikan di Cina karena begitu sibuk, koper dan barang-barang teman saya dibanting dan dia teriak-teriak di airport. (?!!??) Akhirnya saat itu juga bukannya pulang, mereka malah ke mall untuk beli iPad. (?@#?!?). Cerita yang lain, si mantan ulang tahun. Teman saya memutuskan untuk memberi kado perhiasan emas yang lumayan mahal. Si mantan gak suka, marah-marah, dan menuntut untuk kembali ke toko ditukar dengan model yang dia suka. (!!?@#$?) dan mereka pun kembali ke toko untuk tukar model…ke yang lebih mahal. (??@?#$@?)
Cerita lain lagi, si mantan mau ke Bali dengan teman-temannya, minta uang saku ke teman saya. Uang saku paling berapa sih? 2 juta seharusnya cukup, namanya uang saku. Tapi ternyata si mantan mengamuk. Akhirnya 2 juta itu malah dikasih ke teman saya, sementara kartu ATM teman saya dibawa ke Bali. Belum selesai sampai disitu, tagihan tiket JKT-DPS-JKT juga ditagihkan ke teman saya. (?!?@!?#) Tiap kali pergi ke mall, tagihan belanja si mantan berjuta-juta, teman saya yang bayar. Belum lagi permintaan rutin si mantan tiap kali ngambek. Ke Melawai atau Ambassador supaya ngambeknya mereda. Kalo Melawai pasti beli emas/berlian, Ambassador beli gadget atau HP baru.
Puncaknya, teman saya hampir terbujuk untuk tukar tambah mobil lama mantannya dengan mobil baru. (selisihnya sampai 100 juta lebih) untungnya belum sempat terjadi, mereka sudah keburu putus. Padahal mereka rencananya mau menikah tahun depan. Untung gak kejadian. Mau tau rencana sang mantan untuk kehidupan mereka nanti setelah menikah? “Kamu kalo kerja kan macet, nanti beli motor aja. aku pake mobil yang baru tuker tambah, mobil mercy kamu ditaro di rumah aku aja biar dipake papa.” (???#%#@?!!?). Ajaib memang.
Dari perasaan iri ketika mendengar dia mendapatkan gratifikasi yang begitu banyak, berubah ke perasaan kasihan dan sedih mendengar penderitaannya bersama sang mantan selama 11 bulan. Otak saya lalu bekerja menyambung bagian-bagian puzzle yang ada dari cerita teman saya. Saya mendapat 1 kesimpulan, uang tidak bisa membuat seseorang bahagia. Apalagi “bad money” seperti yang didapatkan teman saya. Bad money gives bad karma. Saya lalu melepas teman saya pulang sambil mendoakan agar dia diberi petunjuk untuk kembali ke jalan yang benar.
PITAKON, QUESTION
KALO CINTA BERTEPUK SEBELAH TANGAN,, APA YA HRS MENGEJAR CINTA SAMPE KE NEGERI CHINA??
KALO MO PDKT, TAPI TARGET JAUH GMANA CARANYA?? (MAY BE ADA PENGALAMAN,,, HEHE)